Aku hanya ingin menyusun ulang kata-kata yang urung diucapkan oleh Yusuf kepada Zulaikha.

Ichsan Afriadi

Latif

Di bawah ini adalah tulisan dari beberapa halaman dalam kesatuan buku yang sedang kutulis. Mohon doanya, semoga Allah selalu mencurahkan inayah-Nya kepada si penulis.

Latif, Bab 7 hal. 119-122
Mungkin sewaktu-waktu dapat berubah; dari kata penulisan, penempatan bab, dan peletakan halamannya.


Surat Darinya


Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Latif, ada sesuatu yang selama ini ingin kusampaikan meski bertahun-tahun telah kusimpan. Entah bagaimana caraku menyampaikannya, sedangkan kau mengajarkanku bagaimana cara menjelaskan sesuatu tanpa berucap. Maaf bila Allah menjadikanku jalan untukmu mengenal kesunyian. 

Bismillah, inilah yang ingin kusampaikan bahwa syair-syairmu yang selama ini kau tulis di bawah pohon dan menitipkannya pada derai sungai yang mengalir, telah kubaca semua entah sampai berapa kali. Tahukah kau bahwa tiap helai dedaunan yang membawa tinta penamu, bermuara tepat di aliran sungai yang berhadapan langsung dengan rumahku? Sungai yang riaknya menerjang tiap-tiap rindu yang selalu kau tanam ke dalam hatiku. Terkadang ia menyangkut di ranting pohon, namun seringkali kutemukan syairmu lewat getar yang Allah bisikan. Aku hapal waktu ketika menjelang senja kau selalu menulis dan berbaring di bawah pohon yang rindangnya selalu kau jadikan sandaran. Sebab itu, aku selalu menantinya sambil menunggu kumandang adzan.

Latif, kau harus tahu. Aku jauh lebih dulu merasakan ketimbang yang selama ini kau dambakan. Aku bersaksi bahwa hujan saat itu menjadi awal dari airmataku. Aku tak perlu bukti akan sesuatu yang wajib kuyakini, sebab setiap angin yang berhembus ke arahku sudah berulangkali menyampaikan kabarmu. Ada dua hal yang bagimu berarti untuk kau tahu. Pertama, aku utuh mencintaimu dalam ketidak-sanggupanku menerima takdir kalau sebelum lahir, aku sudah menentukan pilihan. Kedua, aku telah diminta oleh sahabatmu sendiri, yaitu Adam. Di mana lusa ia akan datang untuk meminang. Aku hanya meyakini bahwasanya siapa saja lelaki yang datang ke rumahku maka ia yang dihadirkan Allah untuk kucinta. Kuharap kau memahami dan tidak sedikit pun kecewa atas ketetapan-Nya.

Arroja’u ma qoronahu amalun wa illa fahuwa amniyatun. Harapan merupakan sesuatu yang disertai tindakan, jika tidak maka ia hanya sebatas angan-angan. Aku telah lama mengharapkanmu bertemu ayahku untuk mempertanggung-jawabkan cinta yang ada. Namun tiap waktu silih berganti, tiap duha yang selalu kupanjatkan, entah mengapa kini sosok sahabatmu yang datang menemuinya. Aku tak bisa melakukan apa-apa kecuali pasrah akan tiap takdir yang ada. Cukup Allah dan penduduk langit saja yang tahu, bahwa sampai saat aku ingin melupakanmu kini, aku masih mencintaimu. Doakan aku, semoga bisa menghapusnya nanti lewat senyum dan tulus cinta suamiku. Dan aku pun berdoa, semoga Allah menghadiahkanmu sosok wanita soleha, yang dengannya insya Allah bayangku di hatimu kian redup seketika.

Latif, langit yang aku lukis dari kelemah-lembutanmu janganlah semena-mena kau bakar dengan kesedihan. Nestapa berupa anak panah yang kelak bisa saja patah, hingga suatu saat ia menjelma jadi daun-daun basah yang merambat. Kau tahu, sedih yang kau lahirkan itu hanya mampu memeluk sepi seperti siang yang mengutuk malam. Maka yakinlah Latif, seperti halnya lengkung pelangi yang setia menanti hujan. Kaulah satu-satunya bagian dari hidupku yang terbentuk dari nafas kelembutan. Latif, apakah kau tahu? Ketika menulis surat ini justru aku takut akan kehilanganmu. Takut bila pada dinginnya senja, gerimis akan semakin erat mendekapku dalam hangatnya tangis.

Ya Rabb, bila pada takdir-Mu tak terpahat namaku sebagai lelaki yang akan hidup seatap dengannya, maka berilah aku petunjuk untuk mengenal kepasrahan.

Assalamu’alaikum, Zahra.

Malam ini, 752 hari sudah selepas kali pertama aku menatap wajah yang indah di sela rintik hujan itu. Saat Rabu, 15 Rabiul Awal. Sepanjang rentang waktu itulah pena ini menjadi penerjemah untukku menyampaikan pesan kepadamu, sebab bayanganmu selalu saja jauh dari jangkauan takdirku. Aku tahu bahwa syair tak selalu tercipta lewat kata, namun hanya melalui kata aku sanggup menceritakan syair kepadamu.

Bersama surat ini aku sertakan sebilah malamku untuk kau simpan di kedua matamu yang teduh bersahaja, agar orang lain kesulitan untuk membedakan mana yang lebih pekat dan hitam di antara keduanya. Dengan ini pula kukirimkan getar ratap mengiba kepadamu, kusematkan detaknya di tiap sela huruf agar manakala kau membacanya, insya Allah kau akan merasakan debar itu mengalir di sekujur nadi dan menyatu dengan denyut cahaya. Aku bersaksi atas senyum yang melengkung manis di wajahmu, bahwa tak ada yang lebih santun ketimbang caramu menyapaku lewat kata-kata. Demi malam tempat keheningan bersandar, izinkan aku menyapamu lewat pesan ini dengan bismillah.

Zahra. Kalau dengan doa pun tak dapat kuketuk pintu takdirmu, dengan airmata mana lagi kau harus kusapa? Tak akan cukup bahkan jika seluruh airmata kujadikan tinta untuk menulis getar ini padamu. Karena bagiku, di dalam tubuhku ada kehidupan. Penghuninya hanya ada kau dan kesepianku. Ketahuilah ketika aku memilih kesendirian untuk menemuimu, itu justru untuk menyendiri dari rasa sepi. Aku tak bisa memilih kepada siapa aku harus dilahirkan, sebabnya mengapa aku juga tak sanggup memilih terhadap siapa aku mencintai.

Terkadang atau hingga sampai saat ini pun. Namamu masih sering berlinang dalam doa pintaku pada-Nya. Ketahuilah ketika aku memujamu tanpa pernah kau mengetahunya, bagiku tak masalah. Toh rembulan selalu bersikap dingin setiap kali malam memujanya. Karena aku puisi yang mengharapkan kau menjadi satu-satunya penafsir yang tak lelah memberi makna. Aku puisi yang mendambakan kau menjadi satu-satunya penyair yang setia menyusun ayat demi menjadikanku tampak lebih indah. Dan aku hanya ingin menunjukkan kepadamu bahwa, kelak ketika namaku terbaring di nisan, aku akan jadi syair terbaik yang pernah kau baca.

Ketahuilah Zahra, bahwasanya Allah yang menjadikan matahari dan menitipkan cahaya kepadanya. Allah yang menciptakan bunga dan memberinya harum. Allah yang menghendaki tubuh dan mengasihinya dengan nyawa. Allah yang menitipkan mata dan memberinya penglihatan. Maka Allah pulalah yang menanamkan hati ini dan menyemainya dengan kasih sayang. Aku teringat pesan dari Ibnu Athaillah, sawabiqul himam la takhriqu aswaral aqdari. Sebesar apapun kekuatan cintaku, betapa pun kuat cintaku akan hal itu, ia tak akan sanggup menerjang dinding takdir.

Kisahku dalam memujamu tentu tak akan dapat mengubah keadaan apa pun bila Dia sudah menentukan bahwa kau milik yang lain. Dan sejauh apa pun kau lari dari diriku, bila takdir sudah menentukan bahwa rumahmu ada di hatiku, kau mau kemana? Tak akan mampu bahkan jika aku menyuruh seluruh jin dan ruh nenek moyang kita untuk membawamu ke dekapanku, sementara takdir sudah menentukan bahwa pelukan orang lain menjadi tempat terakhir yang akan kau singgah. Namun, aku juga tetap percaya bahwa tak akan terjadi apa-apa bahkan bila kau mengerahkan semua malaikat untuk menjauh dariku, sementara takdir sudah menggariskan bahwa hatiku tempat pengasingan terakhir bagimu nantinya.

'Innallaha yaqulu lil malaikati, inthalaqu ila abdy fashabbu alaihi al-balaa shabban, fainny ukhibbu an asma'u shatah. Allah berfirman kepada malaikatnya, pergilah kepada hamba-Ku yang ditimpakan bermacam-macam ujian, sebab sesungguhnya aku mencintai rintihannya. Zahra, Ini bukan tentang bagaimana jika aku nanti tanpamu, namun tentang bagaimana kelak bila kamu hidup tanpaku. Bukan mengenai aku bahagia jika denganmu, tetapi tentang apakah kamu bisa bahagia ketika nanti denganku? Karena cinta itu segala hal tentangmu, seluruh cinta yang melukis keindahan dunia, yang aku fana dan tiada karenanya.

Wahai perempuan yang denganmu, Allah takdirkan aku untuk mengenal cinta. Aku hilang akal mengungkap apa yang saat ini tengah kurasa. Bila kau membaca surat ini, dengarlah ricik air sisa hujan di atap tempatmu bernaung. Betapa akan kau temui di sana, rinainya menjadi wakil dari rasaku malam ini. Tatap bening tetes air yang menggenang di tanah dekat kau duduk saat ini, betapa akan kau lihat sisa wajahku mengiba penuh harap dipendarnya. Atau hirup dalam-dalam udara di sekeliling tempat di mana kini kau mukim, betapa akan kau rasakan nafasku jadi penerjemah tentang perih hati dan luka kepasrahan.

Kau membuatku percaya, betapa cinta merupakan serpihan dari keyakinan. Tempat yang terpendam begitu dalam di mana setiap rahasia luput dari pandangan. Di hatiku, ruang bersemayam cinta dan juga keimanan, di sanalah kesedihanku bersandar, menghayati dirimu yang hingga saat ini tak bisa kujangkau lewat genggaman. Jika boleh aku meminta, basuhlah untaian kata ini dengan sisa tangismu agar ia menemukan nasibnya. Sebab, hendak kemana lagi tulisanku selepas ini mesti mencari sumber air mata? Setelah ia mengantarkan kekasih hati berpulang, menuju ke hati yang lain.

Selepas kubalas surat dari Zahra, kubaca perlahan surat dari Adam. Batinku berat untuk membalasnya. Namun sesaat aku jadi ingat pesan sayyidina Ali karramallahu wajha, jadilah seperti bunga yang memberikan keharuman bahkan kepada tangan yang telah mematahkannya.

Assalamu’alaikum, Adam. 

Suratmu sudah kuterima baik dan kurangnya. Tanpa berpikir panjang, bersama balasan pesan yang singkat ini insya Allah aku akan datang menemanimu untuk meminangnya, sebagai sahabat dan juga sebagai keluarga.

Kulipat ke dua kertas balasan untuk mereka, lalu kumasukkan ke kantong surat. Kini aku hanya bisa terdiam memandang langit yang luas membentang asa, pikiranku telah hilang, pergi melayang entah ke mana. Aku menyapa Rabi'ah dari balik awan, tak ada sebilah tangga menjulang untuk meniti selembar angan. Wajah pasinya yang tersembunyi di balik pakaian kusam, mengajakku menyenandungkan suara cinta bersama rintik-rintik hujan. Aku peluk erat sang Gibran dari jendela lain di bilik cahaya malam. Tak ada sayap di punggungnya, hanya ada jiwa tenang meramu hari-hari yang telah bosan membelai gerigi karang. Aku bersua Rumi, berkenalan dengan hati yang hilang dalam tarian cinta. Seunggun bara mentari surut tersiram panah-panah hujan yang menghujam tepat di jantungnya.

“Zahra. Kenapa kini kau menghuni langit, sementara dadaku terbentang lebih luas? Bukankah kau dan aku, seperti bunyi dan suara dari bibir yang sama?”

Teriakku pada semesta.

“Lihatlah diriku kini, mengadukanmu pada langit tentang istilah bahwa cinta itu buta. Padahal tidak, semenjak mengenalmu, aku jadi tahu kalau cintalah yang justru membuatku bisa melihat.”

Aku menangis tertunduk lalu dengan menguatkan hati, aku berdoa. Doaku sebagaimana yang masyhur dari Imam Abu Hanifah;

"Allahumma kama farihtahuma fiddunya, fafarrihhuma fil akhirah. Ya Allah, sebagaimana nanti Engkau beri kebahagiaan pada mereka, sepasang kekasih itu di dunia, maka bahagiakanlah kelak mereka di akhirat.”