Aku hanya ingin menyusun ulang kata-kata yang urung diucapkan oleh Yusuf kepada Zulaikha.

Ichsan Afriadi

Ibu

Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Bismillah, jika berbicara tentang wanita, maka keindahan yang satu ini takkan habis terkisah. Mereka selalu diibaratkan mawar setangkai yang indah, tak tertepis memang begitulah kaum Hawa adanya. Tanpa berhias pun kalian terlihat mempesona, tak ayal Adam yang seumpama kumbang tak bosan bersyair-ria. Seperti yang pernah kutulis sebelumnya dalam syair yang berjudul Wanita. Sejenak kita menyentuh waktu untuk menembus masa-masa yang lalu, pada bulan Juli tahun 614 Masehi lahirlah seorang wanita yang cantik dan jelita. Wanita yang disebut Humaira', pipi kemerahan. Tak hanya itu, wanita ini memiliki segudang kelebihan dalam hal ingatan atau kecerdasan yang membuatnya menjadi seorang pemimpin. Dialah Siti Aisyah ra. Tak larut sampai disitu, banyak wanita yang dahulu memiliki sifat laksana mutiara. Seperti Khadijah dengan rasa setia, Maryam yang kesuciannya tak tertandingi, Asiyah dengan rasa sabar yang tiada tara, dan Fatimah yang tekun dan gigih. Namun di balik semua itu... Bukanlah mereka yang kan ku ukir kisahnya, tak lain adalah ibuku tercinta.

Belum lagi jemari ini bersenandung tentangnya, ribuan rangkaian kata seperti hujan mengukir cinta. Tak perlu waktu lama untukku memahat cerita ini, karena semua telah terangkai dengan sendirinya.

Nun jauh disana, tepatnya di desa Paingan (Padang Pariaman), Sumatera Barat. Pada tanggal 31 Desember 1952, terdengar tangisan bayi yang baru saja menghirup udara. Ya, dia ibuku yang diberi nama Rosna. Ibu besar dalam keluarga yang sederhana, anak ke 2 dari 8 bersaudara. Singkat cerita, Ibu bertemu dengan ayah semenjak tingkat 1 Sekolah Dasar, ayah adalah seorang anak yatim piatu yang sejak lahir tidak memiliki keluarga atau yang sering disebut dengan kata sebatangkara. Oleh karenanya, setiap menuju sekolah ibu selalu membawa bekal dari rumah, dan bekal itu pun dibagi dua kepada ayah ketika jam istirahat di sekolah. Ya, seperti itulah wanita yang lebih mengedepankan perasaan ketimbang logika. Tak hanya itu, ayah dan ibu selalu pergi beriringan untuk berangkat ke sekolah ketika mentari masih enggan memantulkan jingganya. Di saat ayah dan ibu harus berhadapan dengan aliran sungai yang dangkal namun deras, di situlah ayah memikul ibu di pundaknya untuk mengarungi sungai yang menghalang.

Sewaktu Sekolah Dasar, ibu selalu juara umum hingga tingkat akhir. Dengan itu tak sekeping rupiah pun dikeluarkan untuk biaya sekolah, hal ini yang membuat ayah kagum dengannya. Seperti halnya wanita yang sedih jika kehilangan sesuatu yang dicinta, seperti itulah ibu ketika menghadapi kenyataan pada saat pertengahan tingkat sekolah dasar. Ayah yang selalu menemani ibu, kini harus merantau ke kota Kisaran, provinsi Sumatera Utara. Untuk melanjut pendidikan dan mengais sisa-sisa napas kehidupan. Ayah adalah first love ibu atau yang sering dilantunkan oleh para pujangga dengan sebutan cinta pertama, begitu juga sebaliknya. Di masa ketika belum ada alat untuk mengirim pesan singkat sekedar menyapa, maka hatilah yang berbicara kepada sang Pencipta. Alhasil, ketika melaksanakan Ujian Nasional di Sungai Limau kabupaten Padang Pariaman, ibu kembali bertemu ayah yang juga melaksanakan Ujian Nasional di tempat yang sama. Ibu berhasil mendapatkan nilai Ujian Nasional tertinggi tingkat Sekolah Dasar se-Kabupaten Padang Pariaman, kembali mencuri rasa kagum di hati ayah. Dan lagi! Tuhan menjalankan rencana-Nya, Ibu dan ayah kembali pisah.

Lulus sekolah dasar, ibu melanjutkan pendidikan ke perguruan Tsanawiyah di Pondok Pesantren Al-Islam, Padang Pariaman. Ibu menjalani hari-harinya dengan indah, mengkaji Al-Qur'an dan sunnah. Namun keindahan itu seketika gelap gulita pada tahun 1965, beberapa santri dicuri, dibunuh, dan diperkosa oleh sekelompok yang tak dikenal. Ibu berhasil kabur dengan sebagian temannya dari tangan iblis yang tak mengenal agama. Andai aku berada disana, ketika ibu dan teman-temannya dikejar oleh para pemuda, pasti akan kuhabisi mereka bahkan sang Izrail-pun kupatahkan sayapnya jika berani menyentuh kesucian mereka. Trauma telah terukir di hati ibu sehingga enggan untuk keluar rumah. Dengan ini, ibu berhenti sekolah.

Ibu lebih memilih bekerja di rumah sebagai penjahit pakaian untuk membantu kebutuhan keluarga. Hari-hari remajanya dijalani dengan bekerja, rasa semangat yang dulu membara kini padam sudah. Hingga akhirnya, pada tanggal 08 februari 1971. Ibu berumur 18 tahun, datanglah seorang pemuda mengkhitbahnya. Ya, pemuda itu tak lain adalah ayah. Inilah janji Tuhan untuk hambanya, kalau jodoh takkan lari kemana. Hari yang gelap dulu, kini dihiasi rembulan dan bintang yang memancarkan cahaya. Bibir yang kelu, telah tersenyum mempesona. Hari yang lalu dijalani dengan pilu, kini telah dibalas oleh satu kata... Yaitu, cinta. Hari-hari pun dilalui berdua, suka dan duka dipikul bersama. Tangis, canda, dan tawa berirama melantunkan senandung nada surga bagi mereka yang telah dibaluti ikatan suci dari-Nya.

Setelah menyandang status istri, ibu enggan berdiam diri di rumah. Ibu lebih memilih kerja, ketimbang menyusahi adanya. Terkadang wanita berbalik melindungi tenaga lelaki untuk memahat sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Tiba saatnya ibu dan ayah merantau bersama ke kabupaten Asahan, yang terletak di Sumatera Utara.

Cinta tak hanya kasih sayang seorang istri kepada suami atau pun seorang anak terhadap orang tua, seorang kakak terhadap keluarga, dan seorang ibu untuk anaknya, akan tetapi cinta yang hakiki adalah cinta seorang hamba terhadap Tuhan-nya. Dengan-Nya, seorang wanita dapat mencinta segala yang terlihat di mata. Mulai dari hewan, tumbuhan, alam, dan sesama manusia. Karena semua adalah amanah atau titipan dari-Nya yang harus dijaga, itulah cinta karena Allah Azza Wa Jalla.

Tanggal 13 Maret 1973 lahrilah anak pertama yang lucu dan bijaksana dari ibu dan ayah yang diberi nama Risnaldi, lengkap kebahagian yang telah disandang sebagai suami istri. Untuk membesarkan si buah hati, ibu bekerja sebagai petani. Inilah alasanku mengapa wanita lebih kuat dari sudut pandang kasih sayang, karena yang mereka gunakan hati bukan pikiran. Tanggal 05 Maret 1975 lahirlah anak kedua, yaitu seorang gadis mungil yang bernama Murzalina. Kehidupan dan kasih sayang berjalan tak seimbang, dimana rasa kasih jauh mengalahkan rejeki. Hal ini mengakibatkan ibu mencari kerja sampingan, selain sebagai petani, ibu juga bekerja sebagai penjahit pakaian. Hal ini berlangsung selama 7 tahun, sampai akhirnya ayah memutuskan untuk merantau ke kota Medan, Sumatera Utara.

Tepat pada tanggal 20 Februari 1983, ibu melahirkan bayi kembar yang tampan dan rupawan dengan nama Hendrianto dan Hendrawadi. Tetesan airmata ayah mengalir berirama dengan senandung adzan di telinga mereka. Ketika ayah memikirkan penghasilan rejeki dengan jumlah anak yang ada, terpaksa ayah menitipkan adik dari si kembar yang bernama Hendrianto atau yang biasa dipanggil dengan Dedek ke kampung halaman, Padang Pariaman. Tangisan ibu kini pecah menatap wajah buah hati tercinta. Ya, demi masa depannya.

Alhamdulillah, nikmat Tuhan mengalir membasuhi kehangatan keluarga. Tepat pada awal tahun 1984, ibu dan ayah membuka usaha konveksi busana. Dengan itu, usahanya memiliki lebih 25 karyawan dan 2 toko busana yang terletak di Medan. Kebahagian bertambah dengan lahirnya anak kelima seorang wanita yang bernama Riska Yuliana pada tanggal 09 Juli 1984. Benar kata pepatah, hidup itu bagaikan roda. Sehingga ibu dan ayah sanggup membeli 2 rumah yang beralamat di kota. Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban? Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Hari-hari dilalui dengan kasih sayang antara istri terhadap suaminya, dan anak terhadap orang tua. Dua tahun menjelang, lahir seorang pria yang bernama Dedi Rahmat dan pada tanggal 01 November 1988 lahir pula seorang wanita yang bernama Nana Novita. Kini roda kehidupan itu menurun, uang ibu yang sebesar Rp 400 Juta, raib ditangan rekan bisnis dengan cara memberikan ibu selembar giro kosong untuk memborong busana. Ayah jatuh sakit lalu dirawat di RSU. Permata Bunda, hingga akhirnya seluruh tabungan dan usaha terkena imbasnya.

Ibu dalah wanita yang kuat, di saat ayah terkena sakit jantung di situlah ibu memikul beban menjadi istri yang merawat suami dan menjadi ibu yang mengasuh keluarga. Ibu juga bekerja di saat ayah letih sakit tak berdaya. Pagi, bekerja membiayai obat dan pendidikan keluarga. Malam, merawat ayah yang terbaring. Ini semua dilakukan atas nama cinta. Tak ada keluh yang terucap dari bibir ibu, yang ada hanya suara lembut menyemangati ayah agar lekas sembuh. Tak jarang ibu menahan lapar, demi senyum manis keluarga.

Jelang beberapa tahun, pada tanggal 01 April 1993 lahirlah anak yang terakhir. Yaitu aku, Ichsan Afriadi. Akulah 'alaq (segumpal darah) yang terakhir melekat di rahimnya. Aku besar dari tangan lembut seorang ibu, dan pelukan hangat sebuah keluarga. Ibu yang bekerja dan mengasuh tetap ikhlas menjalaninya, tak ayal wanita disebut sebagai perhiasan terindah. Di saat peradaban baru memasuki dunia, di saat itulah ibu merawat ayah dan keluarga dengan penuh kasih dan cinta. Hingga tiba saatnya Malaikat Maut mengepakkan sayapnya untuk menjemput ayah. Pada tanggal 07 Oktober 2004, hari dimana ibu kehilangan separuh jiwa, hari di saat airmata bercucuran di mana-mana, hari di mana ayah menutup usia. Inilah yang disebut cinta pertama sampai nyawa tiada.

Ibu menjalani hidup seperti biasa, meskipun tertatih namun sanggup untuk tersenyum manis melihat si buah hati yang telah sarjana. Ayah masih hidup, hidup di hati ibu dan kami anak-anaknya. Ibu yang dulu bekerja keras kini terbalas sudah, alhamdulillah.

Pesanku, jangan pernah kita membantah mereka. Karena seorang ibu laksana butir tetesan hujan dan setangkai mawar, bagi mereka yang durhaka. Syair ini kutulis teruntuk ibu di seluruh dunia.
Butiran tetes hujan yang bening
Takkan pernah menyesal suatu saat nanti
Ketika ia sudah bersama sang Bumi
Ia 'kan menjadi genangan kotor yang 'kan selalu dicaci
Oleh mereka yang tak tahu rasa terima kasih

Karena ia hanya menjalani titah Ilahi

Untuk jatuh...
Untuk bersama..
Untuk ada sementara..

Lalu hilang bersama sapaan Mentari dengan hangatnya

Mawar pun tak pernah kecewa jika kelak saatnya tiba
Ia kan dipetik paksa saat merekah
Di saat ia ingin memamerkan indah untuk kumbangnya
Memberikan segenap madu yang ia punya
Ia kemudian layu mati tak tersisa

Karena ia hanya menuruti suratan Rabb'nya

Untuk tumbuh...
Untuk indah...
Untuk ada sementara...

Dan kemudian kan berakhir dengan tergeletak lemah di tumpukan tanah
Ibu adalah sosok jiwa yang sangat mulia, sehingga surga pun patuh bersemayam indah di kakinya.

18 comments:

bang opick's

mntbas brrarti yach semoga ibu mendo'akan kita d jauh sna

Dandelina

Really love your entry. :) Ibu kamu wanita yang hebat.

niken

Subhanallah...
semoga bisa mengambil kebaikan dari ibu-ibu yang begitu amanah dengan tanggung jawabnya...

Rakyan Widhowati Tanjung

Sebagaimana mas ichsan tuturkan kisah perjuangan hidup, jiwa, dan cinta ibunda, tengoklah satu,
Dari Abu Hurairah ra, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah saw dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapa aku harus berbakti pertama kali?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu!’ Lalu orang itu kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu!’ Orang itu kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya lagi, ‘Kemudian siapa lagi?,’ Rasulullah menjawab, ‘Ayahmu.’” (HR. Bukhari)
Betapa mulianya seorang ibu dalam Islam! Subhanallah, semoga Allah senantiasa memberikan rahmat-Nya pada wanita-wanita luar biasa ini... Ibu.

Ichsan Afriadi

Sally, Jazakillah khairan.

Bunda Niken, Insya'Allah.

Rakyan Widhowati Tanjung, Aamiin ya Rabb.

BlogS of Hariyanto

waalaikumsalam, membaca postingan ini membuat kenangan akan almarhum ibuku terbayang dengan sangat jelas-nya...

Mayya

Subhanallah...Betapa luar biasanya ibumu!

Membaca post ini, membuat aku membayangkan kelak, jika anak2ku sudah dewasa, cerita inilah yang akan mereka sampaikan tentangku.

Mudah2an aku bisa menjadi ibu yang jadi kebanggaan anak2ku seperti Ichsan yang bangga terhadap beliau.

Mayya

Oh ya, aku sukaaaa banget ama gambar yang kedua ituuuu. Favoritku bangeeeet!

Ichsan Afriadi

Terima kasih mba, aamiin ya Rabb.

birthday party

nice post :)
keren banget :)

mama aini

assalamualaikum ichsan..ibu ichsan adalah seorang wanita yang kuat dan tabah menghadapi setiap dugaan yang Allah turunkan buat keluarga kamu..semuga Allah memberkati dan melindunginya untuk selama2nya..amin..mama ingin sekali untuk mengenali ibu ichsan.. :)
tentu dia cantik..secantik budi pekertinya..sampaikan salam mama buat ibu kamu..
** buat ichsan..kamu memang seorang anak yang baik..

Ichsan Afriadi

Wa'alaikumusalam warahmatullah wabarakatuh.
InsyaAllah kalau ada rezki dan umur, ichsan akan pertemukan mama sama ibu ichsan, aamiin.

Ririe Khayan

Ibu memang sosok yang luar biasa...darinya mengalir cinta deras tanpa penjelasan dan perlu alasan...

Santai Sejenak | Secangkir Teh dan Sekerat Roti

membacanya saja ikut dalam terlarut.. :)

Akhmad Muhaimin Azzet

Sungguh berdesiran hati saya membacanya. Tiba-tiba saja rindu di dada bergejolak ingin bertemu Ibu. Apalagi menjelang Ramadhan begini...

Ichsan Afriadi

Akhmad Muhaimin Azzet, Hampiri dia selagi nyawa bersarang di jiwa :)

info lowongan kerja

ini suatu karangan yang mengagumkan

Unknown

wow sempurna..
sampe terharu bacanya.. ijin copaa ya kak :-)